Tugas : Makalah Hak Cipta
Nama : Rendra Dwi Permana
Kelas : 2EB21
NPM : 25210734
Mata Kuliah: Aspek Hukum Dalam Ekonomi
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, serta doa dan motivasi dari berbagai pihak sehingga pada
akhirnya makalah yang disusun untuk persyaratan tugas softskill pada
mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi.Dengan membuat makalah tentang Hak Cipta dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan ini, terutama kepada :
· Ibu Christera Kuswahyu Indira selaku dosen mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi
·
Orang Tua saya yang telah memberi saya motivasi, dorongan dan semangat
sehingga penulisan ini dapat terealisasikan dengan baik
·
Semua pihak yang telah membantu ataupun memberikan dorongan baik moril
maupun materil yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan ini
Dalam
penulisan ini saya menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangan, baik dalam isi maupun cara
penyajiannya, karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan saya. Oleh karena
itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun bagi
penyempurnaan penulisan ini.
Bekasi, Juni 2012
Daftar Isi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalahan
1.2 Indeitifikasi Masalah
1.3 Maksud Dan Tujuan
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Metode Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengakuan Hak Cipta
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
2.3 Pengaturan Kerjasa Sama Lisensi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalahan
1.2 Indeitifikasi Masalah
1.3 Maksud Dan Tujuan
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Metode Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengakuan Hak Cipta
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
2.3 Pengaturan Kerjasa Sama Lisensi
2.4 Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan di bidang hukum di Indonesia sebagaimana termaksud dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, serta untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa dalam Wahana Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka dirasakan perlunya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Perlindungan Hukum tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, Undang-undang yang melindungi karya cipta adalah Undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, sebagaiman telah di ubah oleh undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan terkhir telah di ubah lagi dengan undang-undang Nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang hak cipta beserta beberapa peraturan pelaksanaannya.dan pada tanggal 29 Juli 2002 telah diundangkan Undang-Undang yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan sehingga karenanya Undang-undnag Hak Cipta yang baru tersebut tidak banyak disinggung dalam penulisan ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Bertolak dari apa yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, dalam hal ini penuls mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah pengakuan hak cipta ?
2. Apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaturan kerjasa sama lisensi ?
4. Bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuannya penulisan makalah ini berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pengakuan hak cipta
2. Untuk mengetahui apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kerjasa sama lisensi
4. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat
1.4 Kegunaan Penelitian
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis,dan dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan semoga keberadaan hukum ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui undang-undang, literature, buku-buku dan lainnya yang berhubungan dengan hak cipta.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan memahami isi makalah ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya sebagai berikut:
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan di bidang hukum di Indonesia sebagaimana termaksud dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, serta untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa dalam Wahana Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka dirasakan perlunya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Perlindungan Hukum tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, Undang-undang yang melindungi karya cipta adalah Undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, sebagaiman telah di ubah oleh undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan terkhir telah di ubah lagi dengan undang-undang Nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang hak cipta beserta beberapa peraturan pelaksanaannya.dan pada tanggal 29 Juli 2002 telah diundangkan Undang-Undang yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan sehingga karenanya Undang-undnag Hak Cipta yang baru tersebut tidak banyak disinggung dalam penulisan ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Bertolak dari apa yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, dalam hal ini penuls mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah pengakuan hak cipta ?
2. Apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaturan kerjasa sama lisensi ?
4. Bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuannya penulisan makalah ini berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pengakuan hak cipta
2. Untuk mengetahui apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kerjasa sama lisensi
4. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat
1.4 Kegunaan Penelitian
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis,dan dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan semoga keberadaan hukum ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui undang-undang, literature, buku-buku dan lainnya yang berhubungan dengan hak cipta.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan memahami isi makalah ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
1.2 Indeitifikasi Masalah
1.3 Maksud Dan Tujuan
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Metode Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
5. Sejarah Pengakuan Hak Cipta
6. Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
7. Pengaturan Kerjasa Sama Lisensi
8. Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengakuan Hak Cipta
Harsono Adisumarto (1990: 1-4) dalam bukunya “Hak Milik Intelektul Khususnya Hak Cipta” mengemukakan bahwa faktor–faktor yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hak cipta adalah faktor sosial, politik dan teknologi. Khusus mengenai teknologi dapat diutarakan bahwa setelah di temukannya mesin cetak oleh J. Guetenberg pada pertengahan abad ke-15, maka terjadilah perubahan dalam waktu yang pendek serta dengan biaya yang lebih ringan, sehingga perdagangan buku menjadi meningkat.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, dalam abad ke-15 dan sebelumnya, kelompok yang berhubungan dengan penerbitan dan perdagangan buku termasuk suatu gilda yang memperoleh kewenangan khusus dari penguasa raja untuk memperbanyak, mencetak dan memperdagangkan buku.
Dalam akhir abad ke-17 para pedagang dan penulis menentang kekuasaan yang diperoleh para penerbit dalam penerbitan buku, dan menghendaki dapatnya ikut serta dan untuk menikmati hasil ciptaannya dalam bentuk buku. Sebagai akibat ditemukanya mesin cetak yang membawa akibat terjadinya perubahan masyarakat maka dalam tahun 1709 parlemen Inggris menerbitkan Undang-undang Anne (The Statute of Anne) yang bertujuan untuk membatasi hak cipta yang di pegang oleh penerbit dan Undang-undang tersebut dianggap sebagai Undang-undang Hak Cipta yang pertama.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, tidak hanya faktor teknologi yaitu dengan di temukaknya mesin cetak dan faktor politik dengan usaha penguasa untuk membatasi kewenangan para penerbit dalam bidang penerbitan dan perdagangan buku, tetapi faktor sosialpun mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Dalam Tahun 1690, John Locke yang di kutip Harsono mengutarakan dalam bukunya Two Treatises on Civil Government bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (“natural Right”) atas karya ciptanya.
Adapun perkembangan di Belanda dengan Undang-undang tahun 1817, hak cipta (Kopijregt) tetap berada pada penerbit; baru dengan Undang-undang hak cipta tahun 1881 hak khusus pencipta (uitsuitendrecht van de maker) sepanjang mengenai pengumuman dan perbanyakan memperoleh pengakuan formal dan materiil.
Dalam tahun 1886 terciptalah konvensi Bern untuk perlindungan karya sastra dan seni, suatu pengaturan yang modern di bidang hak cipta. Kehendak untuk ikut serta dalam Konvensi Bern, merupakan dorongan bagi Belanda terciptanya Undang-undang Hak Cipta Tahun 1912 (Auteurswet 1912).
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
Istilah hak cipta di usulkan pertama kalinya oleh Prof. Moh. Syah, SH. Pada Kongres Kebudayaan di Bandung seperti yang di kutip Saidin, yang kemudian di terima di kongres itu sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteures Rechts.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengertian tersebut “kurang luas” karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah-olah yang di cakup oleh pengarang itu hanyalan hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut pautnya dengan karang pengarang. Sedangkan istilah hak cipta itu lebih luas, dan ia mencakup juga tentang karang mengarang. Lebih jelas batasan pengertian ini dapat dilihat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, menurutu ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengakuan secara hukum atas Hak Cipta sesuai karya cipta di Indonesia boleh dikatakan belum begitu lama dan belum memasyarakat. Keadaan ini di sebabkan bahwa produk hukum untuk mengakui dan melindungi Hak Cipta tersebut baru terbit pada tahun 1982, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pada Tahun 1987 Undang-undang ini diubah menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian terjadi lagi perubahan atas Undang-undang tersebut, dan selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.
Perubahan-perubahan pada Undang-undang tersebut diatas pada dasarnya di maksudkan sebagai suatu upaya untuk mengakomodasikan dan mengaktualisasikan seluruh sifat, jenis dan bentuk karya cipta dan hak cipta yang tampak dinamis dan berkembang terus. Akomodasi dan aktualisasi yang dimaksud antara lain direalisasikan dengan menetapkan pengertian dan cakupan Karya Cita dan Hak Cipta atas sesuatu karya cipta.
Harsono Adisumarto (1990:5) mengatakan, rumusan Undang-undang mengenai pengertian Hak Cipta di dasarkan pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, disingkat UHC-Indonesia.
Menurut Saidin (1997) : 34-36) dalam bukunya “Aspek Hukum hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)” undang-undang ini di keluarkan adalah untuk merealisasikan amanah GBHN (tahun 1978) dalam rangka pembangnunan di bidang hukum, di maksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptanya.
Lebih lanjut Saidin menambahkan, dengan keluarnya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini secara tegas di nyatakan di cabut Auteurswet 1912 Stb. No. 600, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum nasional. Demikianlah kita lihat tujuan di keluarkannya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, yang pada bagian lain telah pula menyebutkan hak cipta, Menurut ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks itu, Hutauruk yang di kutip Saidin mengatakan, ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 itu, yaitu :
Hak yang dapat di pindahkan . dialihkan kepada pihak lain.
hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat di tinggalkan dari padanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).
Menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memperluas bentuk dan sifat Hak Cipta, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak Cipta di nilai masih kurang memadai untuk mengikuti perkembangan keadaan. Karena itu Undang-undang tersebut perlu lebih disesuaikan dan atau di ubah, agar dapat mengimbangi perkembangan keadaan.
Pengganti Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor Tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lanjut hak dari orang tersebut diatas.
Dari uraian diatas ditarik pokok pemahaman bahwa pencipta suatu karya dapat terdiri satu orang atau lebih. Karya cipta yang dimaksud meliputi karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, karya cipta di bidang kesenian, dan karya cipta dibidang sastra. Sedangkan pemegang Hak Cipta bisa yang menciptakan karya itu sendiri, tetapi bisa juga orang-orang lain yang mendapat hak Cipta tersebut.
Pasal 2 Undang-undnag Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta maupun penerima Hak Cipta atas karya film dan program komputer memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentiangan yang bersifat komersial.
Ketentuan mengenai hak untuk memberi izin atau melarang penyewaan sebagaimana di maksud dalam ayat (2) berlaku pula bagi produser rekaman suara.
Dari uraian pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus yang di peroleh seseorang atau lebih atas karya ciptaannya. Hak khusus ini dapat juga di peroleh orang yang tidak termasuk orang menciptakan karya tersebut, namun secara sah mendapat hak khusus di maksud dari orang yang menciptakan karya tersebut.
Pasal 10A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptaannya dan ciptaan itu belum di terbitkan, maka negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Apabila suatu ciptaan telah di terbitkan tetapi tidak di ketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, maka penerbit memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Pasal diatas tampaknya diarahkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi ketidak jelasan Hak Khusus dari Hak Cipta atas sesuatu karya cipta yang tidak atau belum di ketahui siapa penciptanya. Hal ini memang penting mengingat tidak sedikit karya cipta yang tidak jelas siapa penciptanya.
Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya :
a. buku, program komputer, plamfet, susunan perwajahan karya tulis yang di terbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara di ucapkan;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
d. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara;
e. drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomin;
f. karya pertunjukan;
g. karya siaran;
h. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan;
i. arsitektur;
j. peta;
k. seni batik;
l. fotografi;
m. sinematografi;
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf n dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan aslinya.
Dalam perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, akan tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkanperbanyakan hasil karya itu.
Bila di banding dengan materi undang-undang sebelumnya, Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 tahun 1997 jauh lebih rinci penjelasanya atas jenis-jenis Hak Cipta.
Pasal 27A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Hak Cipta atas ciptaan yang dipegang atau di laksanakan oleh Negara berdasarkan :
a. ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas waktu;
b. ketentuan pasal 10A ayat (1), berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya cipta tersebut pertama kali di ketahui umum.
Hak Cipta atas ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan ketentuan pasal 10A ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya cipta tersebut pertama kali di terbitkan.
Pasal 28A Undnag-undang Nomor 12 Tahun 1997 menetapkan bahwa jangka waktu perlindungan bagi hak pencipta sebagaimana di maksud dalam ;
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu; dan b pasal 24 ayat (2) dan ayat(3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran penciptanya.
Pasal 28 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan:
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu ciptaan, penghitungan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi :
selama 25 (dua puluh lima) tahun;
selama 50 (lima puluh) tahun;
selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia; di mulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, di ketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah pencipta meninggal dunia.
2.3 Pengaturan Perjanjian Kerjasama Lisensi
Mengenai Lisensi, Pasal 38A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberi lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
(2) Kecuali jika di perjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimana di maksud dalam ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2, berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dari penjelasan pasal diatas tampak bahwa urusan lisensi perlu diatur secara khusus oleh pihak pemberi lisensi kepada pihak yang menerima lisensi. Pada umumnya pemberian lisensi dari satu pihak kepada pihak lain ini di lakukan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal perjanjian tertentu, yang di sepakati kedua belah pihak.
Pasal 38 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan, bahwa kecuali jika perjanjian lain, maka Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
Pasal 38 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Perjanjian lisensi di larang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia.
Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib di catatkan di kantor Hak Cipta.
Permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di tolak oleh Kantor Hak Cipta.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi, termasuk tata cara pencatatannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pada pasal diatas jelas di maksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia dari cara-cara yang tidak hanya akan merugikan dirinya, tetapi dapat pula merugikan negara. Hal ini bisa saja terjadi sebagai akibat kekurang pengertian pihak yang menerima lisensi, karena pihak pemberi lisensi adalah pihak asing, yang tentu mempunyai kepentingan dan aturan tertentu. Itu sebabnya perlu di keluarkan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur urusan lisensi ini.
2.4 Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
Bila terjadi pelanggaran atas suatu Hak Cipta, maka persoalan yang akan timbul bagi Pencipta atau ahli warisnya adalah bagaimana memperkirakan pelanggaran Hak Cipta tersebut. Mengenai Hak dan Wewenang Menggugat, pasal 41 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Penyerahan Hak Cipta atas seluruh ciptaan kepada orang atau badan lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya :
a. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
b. mencantumkan nama Pencipta pada ciptaannya;
c. mengganti atau mengubah judul ciptaan itu; dan atau
d. mengubah isi ciptaan itu.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan negeri atas pelanggaran atas Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya.
Dalam hal terdapat gugatan untuk penyerahan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan itu baru dilaksanakan setelah pemegang Hak Cipta membayar sejumlah nilai benda yang di serahkan kepada pihak yang beritikad baik.
Pemegang hak Cipta juga berhak untuk meminta kepada pengadilan negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan penemuan ilmiah lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau dengan cara melanggar Hak Cipta tersebut.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, Hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Pasal 43 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa Hak Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 tidak berlaku terhadap benda yang ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan benda-benda itu dan memperolehnya untuk keperluan sendiri.
Dengan adanya pasal tersebut diatas, maka diperoleh kejelasan dan kepastian mengenai tidak semua Hak Cipta berlaku atas setiap semua karya ciptaan. Artinya, Hak Cipta dimaksud ini tidak berlaku terhadap karya-karya yang ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan karya-karya tersebut dan memperolehnya untuk keperluan sendiri. Sebagai misal, karya lukisan yang berada di tangan kolektor.
Selanjutnya pasal 43A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa Pencipta atau ahli waris ciptaan dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran ketentuan Pasal 24.
Dengan adanya pasal 34A tersebut, maka setiap Pencipta atau ahli waris Hak Cipta mempunyai landasan hukum yang jelas untuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran atas Hak Ciptanya. Pasal inilah yang tampaknya menjadi suatu hal yang perlu diperjelas dan dipertegas melalui perubahan peraturan perundang-undangan, sehingga seseorang Pencipta atau ahli waris Hak Cipta memperoleh pegangan hukum dalam memperkarakan Hak Ciptanya.
Pasal 43B menyatakan hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam psal 42 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta.
Dalam pasal 43C BAB VA tentang Hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta menyatakan bahwa :
Pelaku memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan rekaman suara dan atau gambar dari pertunjukkannya.
Produser rekaman suara memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak karya rekaman suara.
Lembaga penyiaran memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan ulang karya siarannya melalui transisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lainnya.
Pasal 43 D Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
Jangka waktu perlindungan bagi :
a. Pelaku yang menghasilkan karya pertunjukan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut diwujudkan atau di pertunjukan;
b. Prosedur rekaman suara yang menghasilkan karya rekaman suara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut selesai di rekam;
c. Lembaga penyiaran yang menghasilkan karya siaran berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.
Penghitungan jangka waktu perlindungan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dimulai sejak 1 Januari tahun berikutnya setelah :
d. suatu karya pertunjukan selesai di wujudkan atau dipertunjuk-kan;
e. suatu karya rekaman suara selesai direkam;
f. suatu karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali.
Selanjutnya pada dimensi lain yang dimaksud dengn pemegang hak cipta Saidin dalam bukunya “Aspek Hukum Kekayaan Intelektual” adalah pencipta sebagai hak pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 1 butir (b) UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 tahun 1987.
Lebih lanjut Saidin menngutip pendapat Vollmar, menjelaskan bahwa setiap mahkluk hidup mempunyai apa yang disebut wewenang berhak yaitu kewenangan untuk membezit (mempunyai) hak-hak dan setiap hak tentu ada subyek haknya sebagai hak tersebut. Setiap ada hak tentu ada kewajiban. Dan saidin kembali mengutip pendapat Prof. Mahadi “setiap ada subyek pasti ada obyek” kedua-duanya tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan) ada hubungan dengan yang satu dengan yang lain. Dan apabila dihubungkan dengan hak cipta, maka yang menjadi subyeknya adalah pemegang hak yaitu pencipta atau orang atau badan hukum yang secara sah memperoleh hak untuk itu. Yaitu dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara atau dengan perjanjian, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987. Sedangkan yang menjadi obyeknya ialah benda yang dalam hal ini adalah hak cipta, sebagai benda immaterial.
Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “dapat” dijadikan milik negara dari penjelasan perundang-undangan diatas, memberikan arti bahwa peralihan hak kepada negara itu hanya suatu kemungkinan saja, bukan suatu keharusan dan untuk itu harus di penuhi beberapa syarat, yaitu:
1. demi kepentingan negara;
2. dengan sepengetahuan pemegangnya;
3. dengan keputusan presiden;
4. atas dasar pertimbangan dewan hak cipta;
5. kepada pemegang hak cipta diberi imbalan penghargaan yang ditetapkan oleh Presiden.
Jadi jika dilihat persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat hak cipta itu dijadikan milik negara, maka dapat dikatakan persyaratan hampir sama dengan tata cara pencabutan hak atas tanah.
1.1 Latar Belakang Permasalahan
1.2 Indeitifikasi Masalah
1.3 Maksud Dan Tujuan
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Metode Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
5. Sejarah Pengakuan Hak Cipta
6. Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
7. Pengaturan Kerjasa Sama Lisensi
8. Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengakuan Hak Cipta
Harsono Adisumarto (1990: 1-4) dalam bukunya “Hak Milik Intelektul Khususnya Hak Cipta” mengemukakan bahwa faktor–faktor yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hak cipta adalah faktor sosial, politik dan teknologi. Khusus mengenai teknologi dapat diutarakan bahwa setelah di temukannya mesin cetak oleh J. Guetenberg pada pertengahan abad ke-15, maka terjadilah perubahan dalam waktu yang pendek serta dengan biaya yang lebih ringan, sehingga perdagangan buku menjadi meningkat.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, dalam abad ke-15 dan sebelumnya, kelompok yang berhubungan dengan penerbitan dan perdagangan buku termasuk suatu gilda yang memperoleh kewenangan khusus dari penguasa raja untuk memperbanyak, mencetak dan memperdagangkan buku.
Dalam akhir abad ke-17 para pedagang dan penulis menentang kekuasaan yang diperoleh para penerbit dalam penerbitan buku, dan menghendaki dapatnya ikut serta dan untuk menikmati hasil ciptaannya dalam bentuk buku. Sebagai akibat ditemukanya mesin cetak yang membawa akibat terjadinya perubahan masyarakat maka dalam tahun 1709 parlemen Inggris menerbitkan Undang-undang Anne (The Statute of Anne) yang bertujuan untuk membatasi hak cipta yang di pegang oleh penerbit dan Undang-undang tersebut dianggap sebagai Undang-undang Hak Cipta yang pertama.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, tidak hanya faktor teknologi yaitu dengan di temukaknya mesin cetak dan faktor politik dengan usaha penguasa untuk membatasi kewenangan para penerbit dalam bidang penerbitan dan perdagangan buku, tetapi faktor sosialpun mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Dalam Tahun 1690, John Locke yang di kutip Harsono mengutarakan dalam bukunya Two Treatises on Civil Government bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (“natural Right”) atas karya ciptanya.
Adapun perkembangan di Belanda dengan Undang-undang tahun 1817, hak cipta (Kopijregt) tetap berada pada penerbit; baru dengan Undang-undang hak cipta tahun 1881 hak khusus pencipta (uitsuitendrecht van de maker) sepanjang mengenai pengumuman dan perbanyakan memperoleh pengakuan formal dan materiil.
Dalam tahun 1886 terciptalah konvensi Bern untuk perlindungan karya sastra dan seni, suatu pengaturan yang modern di bidang hak cipta. Kehendak untuk ikut serta dalam Konvensi Bern, merupakan dorongan bagi Belanda terciptanya Undang-undang Hak Cipta Tahun 1912 (Auteurswet 1912).
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
Istilah hak cipta di usulkan pertama kalinya oleh Prof. Moh. Syah, SH. Pada Kongres Kebudayaan di Bandung seperti yang di kutip Saidin, yang kemudian di terima di kongres itu sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteures Rechts.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengertian tersebut “kurang luas” karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah-olah yang di cakup oleh pengarang itu hanyalan hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut pautnya dengan karang pengarang. Sedangkan istilah hak cipta itu lebih luas, dan ia mencakup juga tentang karang mengarang. Lebih jelas batasan pengertian ini dapat dilihat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, menurutu ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengakuan secara hukum atas Hak Cipta sesuai karya cipta di Indonesia boleh dikatakan belum begitu lama dan belum memasyarakat. Keadaan ini di sebabkan bahwa produk hukum untuk mengakui dan melindungi Hak Cipta tersebut baru terbit pada tahun 1982, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pada Tahun 1987 Undang-undang ini diubah menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian terjadi lagi perubahan atas Undang-undang tersebut, dan selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.
Perubahan-perubahan pada Undang-undang tersebut diatas pada dasarnya di maksudkan sebagai suatu upaya untuk mengakomodasikan dan mengaktualisasikan seluruh sifat, jenis dan bentuk karya cipta dan hak cipta yang tampak dinamis dan berkembang terus. Akomodasi dan aktualisasi yang dimaksud antara lain direalisasikan dengan menetapkan pengertian dan cakupan Karya Cita dan Hak Cipta atas sesuatu karya cipta.
Harsono Adisumarto (1990:5) mengatakan, rumusan Undang-undang mengenai pengertian Hak Cipta di dasarkan pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, disingkat UHC-Indonesia.
Menurut Saidin (1997) : 34-36) dalam bukunya “Aspek Hukum hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)” undang-undang ini di keluarkan adalah untuk merealisasikan amanah GBHN (tahun 1978) dalam rangka pembangnunan di bidang hukum, di maksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptanya.
Lebih lanjut Saidin menambahkan, dengan keluarnya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini secara tegas di nyatakan di cabut Auteurswet 1912 Stb. No. 600, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum nasional. Demikianlah kita lihat tujuan di keluarkannya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, yang pada bagian lain telah pula menyebutkan hak cipta, Menurut ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks itu, Hutauruk yang di kutip Saidin mengatakan, ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 itu, yaitu :
Hak yang dapat di pindahkan . dialihkan kepada pihak lain.
hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat di tinggalkan dari padanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).
Menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memperluas bentuk dan sifat Hak Cipta, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak Cipta di nilai masih kurang memadai untuk mengikuti perkembangan keadaan. Karena itu Undang-undang tersebut perlu lebih disesuaikan dan atau di ubah, agar dapat mengimbangi perkembangan keadaan.
Pengganti Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor Tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lanjut hak dari orang tersebut diatas.
Dari uraian diatas ditarik pokok pemahaman bahwa pencipta suatu karya dapat terdiri satu orang atau lebih. Karya cipta yang dimaksud meliputi karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, karya cipta di bidang kesenian, dan karya cipta dibidang sastra. Sedangkan pemegang Hak Cipta bisa yang menciptakan karya itu sendiri, tetapi bisa juga orang-orang lain yang mendapat hak Cipta tersebut.
Pasal 2 Undang-undnag Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta maupun penerima Hak Cipta atas karya film dan program komputer memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentiangan yang bersifat komersial.
Ketentuan mengenai hak untuk memberi izin atau melarang penyewaan sebagaimana di maksud dalam ayat (2) berlaku pula bagi produser rekaman suara.
Dari uraian pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus yang di peroleh seseorang atau lebih atas karya ciptaannya. Hak khusus ini dapat juga di peroleh orang yang tidak termasuk orang menciptakan karya tersebut, namun secara sah mendapat hak khusus di maksud dari orang yang menciptakan karya tersebut.
Pasal 10A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptaannya dan ciptaan itu belum di terbitkan, maka negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Apabila suatu ciptaan telah di terbitkan tetapi tidak di ketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, maka penerbit memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Pasal diatas tampaknya diarahkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi ketidak jelasan Hak Khusus dari Hak Cipta atas sesuatu karya cipta yang tidak atau belum di ketahui siapa penciptanya. Hal ini memang penting mengingat tidak sedikit karya cipta yang tidak jelas siapa penciptanya.
Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya :
a. buku, program komputer, plamfet, susunan perwajahan karya tulis yang di terbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara di ucapkan;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
d. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara;
e. drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomin;
f. karya pertunjukan;
g. karya siaran;
h. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan;
i. arsitektur;
j. peta;
k. seni batik;
l. fotografi;
m. sinematografi;
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf n dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan aslinya.
Dalam perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, akan tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkanperbanyakan hasil karya itu.
Bila di banding dengan materi undang-undang sebelumnya, Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 tahun 1997 jauh lebih rinci penjelasanya atas jenis-jenis Hak Cipta.
Pasal 27A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Hak Cipta atas ciptaan yang dipegang atau di laksanakan oleh Negara berdasarkan :
a. ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas waktu;
b. ketentuan pasal 10A ayat (1), berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya cipta tersebut pertama kali di ketahui umum.
Hak Cipta atas ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan ketentuan pasal 10A ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya cipta tersebut pertama kali di terbitkan.
Pasal 28A Undnag-undang Nomor 12 Tahun 1997 menetapkan bahwa jangka waktu perlindungan bagi hak pencipta sebagaimana di maksud dalam ;
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu; dan b pasal 24 ayat (2) dan ayat(3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran penciptanya.
Pasal 28 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan:
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu ciptaan, penghitungan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi :
selama 25 (dua puluh lima) tahun;
selama 50 (lima puluh) tahun;
selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia; di mulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, di ketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah pencipta meninggal dunia.
2.3 Pengaturan Perjanjian Kerjasama Lisensi
Mengenai Lisensi, Pasal 38A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberi lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
(2) Kecuali jika di perjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimana di maksud dalam ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2, berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dari penjelasan pasal diatas tampak bahwa urusan lisensi perlu diatur secara khusus oleh pihak pemberi lisensi kepada pihak yang menerima lisensi. Pada umumnya pemberian lisensi dari satu pihak kepada pihak lain ini di lakukan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal perjanjian tertentu, yang di sepakati kedua belah pihak.
Pasal 38 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan, bahwa kecuali jika perjanjian lain, maka Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
Pasal 38 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Perjanjian lisensi di larang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia.
Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib di catatkan di kantor Hak Cipta.
Permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di tolak oleh Kantor Hak Cipta.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi, termasuk tata cara pencatatannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pada pasal diatas jelas di maksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia dari cara-cara yang tidak hanya akan merugikan dirinya, tetapi dapat pula merugikan negara. Hal ini bisa saja terjadi sebagai akibat kekurang pengertian pihak yang menerima lisensi, karena pihak pemberi lisensi adalah pihak asing, yang tentu mempunyai kepentingan dan aturan tertentu. Itu sebabnya perlu di keluarkan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur urusan lisensi ini.
2.4 Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
Bila terjadi pelanggaran atas suatu Hak Cipta, maka persoalan yang akan timbul bagi Pencipta atau ahli warisnya adalah bagaimana memperkirakan pelanggaran Hak Cipta tersebut. Mengenai Hak dan Wewenang Menggugat, pasal 41 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Penyerahan Hak Cipta atas seluruh ciptaan kepada orang atau badan lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya :
a. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
b. mencantumkan nama Pencipta pada ciptaannya;
c. mengganti atau mengubah judul ciptaan itu; dan atau
d. mengubah isi ciptaan itu.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan negeri atas pelanggaran atas Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya.
Dalam hal terdapat gugatan untuk penyerahan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan itu baru dilaksanakan setelah pemegang Hak Cipta membayar sejumlah nilai benda yang di serahkan kepada pihak yang beritikad baik.
Pemegang hak Cipta juga berhak untuk meminta kepada pengadilan negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan penemuan ilmiah lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau dengan cara melanggar Hak Cipta tersebut.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, Hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Pasal 43 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa Hak Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 tidak berlaku terhadap benda yang ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan benda-benda itu dan memperolehnya untuk keperluan sendiri.
Dengan adanya pasal tersebut diatas, maka diperoleh kejelasan dan kepastian mengenai tidak semua Hak Cipta berlaku atas setiap semua karya ciptaan. Artinya, Hak Cipta dimaksud ini tidak berlaku terhadap karya-karya yang ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan karya-karya tersebut dan memperolehnya untuk keperluan sendiri. Sebagai misal, karya lukisan yang berada di tangan kolektor.
Selanjutnya pasal 43A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa Pencipta atau ahli waris ciptaan dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran ketentuan Pasal 24.
Dengan adanya pasal 34A tersebut, maka setiap Pencipta atau ahli waris Hak Cipta mempunyai landasan hukum yang jelas untuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran atas Hak Ciptanya. Pasal inilah yang tampaknya menjadi suatu hal yang perlu diperjelas dan dipertegas melalui perubahan peraturan perundang-undangan, sehingga seseorang Pencipta atau ahli waris Hak Cipta memperoleh pegangan hukum dalam memperkarakan Hak Ciptanya.
Pasal 43B menyatakan hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam psal 42 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta.
Dalam pasal 43C BAB VA tentang Hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta menyatakan bahwa :
Pelaku memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan rekaman suara dan atau gambar dari pertunjukkannya.
Produser rekaman suara memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak karya rekaman suara.
Lembaga penyiaran memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan ulang karya siarannya melalui transisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lainnya.
Pasal 43 D Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
Jangka waktu perlindungan bagi :
a. Pelaku yang menghasilkan karya pertunjukan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut diwujudkan atau di pertunjukan;
b. Prosedur rekaman suara yang menghasilkan karya rekaman suara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut selesai di rekam;
c. Lembaga penyiaran yang menghasilkan karya siaran berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.
Penghitungan jangka waktu perlindungan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dimulai sejak 1 Januari tahun berikutnya setelah :
d. suatu karya pertunjukan selesai di wujudkan atau dipertunjuk-kan;
e. suatu karya rekaman suara selesai direkam;
f. suatu karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali.
Selanjutnya pada dimensi lain yang dimaksud dengn pemegang hak cipta Saidin dalam bukunya “Aspek Hukum Kekayaan Intelektual” adalah pencipta sebagai hak pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 1 butir (b) UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 tahun 1987.
Lebih lanjut Saidin menngutip pendapat Vollmar, menjelaskan bahwa setiap mahkluk hidup mempunyai apa yang disebut wewenang berhak yaitu kewenangan untuk membezit (mempunyai) hak-hak dan setiap hak tentu ada subyek haknya sebagai hak tersebut. Setiap ada hak tentu ada kewajiban. Dan saidin kembali mengutip pendapat Prof. Mahadi “setiap ada subyek pasti ada obyek” kedua-duanya tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan) ada hubungan dengan yang satu dengan yang lain. Dan apabila dihubungkan dengan hak cipta, maka yang menjadi subyeknya adalah pemegang hak yaitu pencipta atau orang atau badan hukum yang secara sah memperoleh hak untuk itu. Yaitu dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara atau dengan perjanjian, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987. Sedangkan yang menjadi obyeknya ialah benda yang dalam hal ini adalah hak cipta, sebagai benda immaterial.
Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “dapat” dijadikan milik negara dari penjelasan perundang-undangan diatas, memberikan arti bahwa peralihan hak kepada negara itu hanya suatu kemungkinan saja, bukan suatu keharusan dan untuk itu harus di penuhi beberapa syarat, yaitu:
1. demi kepentingan negara;
2. dengan sepengetahuan pemegangnya;
3. dengan keputusan presiden;
4. atas dasar pertimbangan dewan hak cipta;
5. kepada pemegang hak cipta diberi imbalan penghargaan yang ditetapkan oleh Presiden.
Jadi jika dilihat persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat hak cipta itu dijadikan milik negara, maka dapat dikatakan persyaratan hampir sama dengan tata cara pencabutan hak atas tanah.
BAB III
PENUTUP
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang hak cipta yang kemudian diubah dan di perbaharui dengan undang-undang Nomor 7 tahun 1987 dan selanjutanya di perbaharui dengan Undang-undang Nomor 12 tahun1997 Tentang perubahan Atas Undang-undang hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987, Indonesia bertekad untuk menghargai dan melindungi ciptaan ,pencipta dan pemegang hak cipta atas suatu ciptaan di bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan Sastra. Hal ini bisa dilihat dari adanya perubahan maupun perbaikan atas perundang-undangan tersebut, dimana ditetapakan sanksi pidana yang berat bagi para pelaku tindak pidananya serta di tandatanganinya pula perjanajian perlindungan hukum timbal balik dengan di keluarkannya Keppres tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropah (Keppres No. 17 Tahun 1988), sedangkan perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta antara Negara Republik Indonesia dengan Amerilka Seriakat (Keppres No. 25 Tahun 1989), Negara Republik Indonesia dengan Australia (Keppres No. 38 Tahun 1993), dan Negara Republik Indonesia dengan Inggris (Keppres No. 56 Tahun 1994).
PENUTUP
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang hak cipta yang kemudian diubah dan di perbaharui dengan undang-undang Nomor 7 tahun 1987 dan selanjutanya di perbaharui dengan Undang-undang Nomor 12 tahun1997 Tentang perubahan Atas Undang-undang hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987, Indonesia bertekad untuk menghargai dan melindungi ciptaan ,pencipta dan pemegang hak cipta atas suatu ciptaan di bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan Sastra. Hal ini bisa dilihat dari adanya perubahan maupun perbaikan atas perundang-undangan tersebut, dimana ditetapakan sanksi pidana yang berat bagi para pelaku tindak pidananya serta di tandatanganinya pula perjanajian perlindungan hukum timbal balik dengan di keluarkannya Keppres tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropah (Keppres No. 17 Tahun 1988), sedangkan perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta antara Negara Republik Indonesia dengan Amerilka Seriakat (Keppres No. 25 Tahun 1989), Negara Republik Indonesia dengan Australia (Keppres No. 38 Tahun 1993), dan Negara Republik Indonesia dengan Inggris (Keppres No. 56 Tahun 1994).
DAFTAR PUSTAKA
Damian, Eddy. Dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung PT. Alumni. 2002 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta menurut beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang hak cipta 1997 dan perlindungannya terhadap buku serta perjanjian penerbitannya (Bandung : Penerbit Alumni, 1999), halaman 141.
Kansil. Hukum Perusahaan Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2002
Purwosatjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia I. Jakarta: Djambatan 2003
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya bakti,1998), Halaman
19.
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar