Senin, 12 Maret 2012

Tulisan Hukum Perdata

Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .

Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:

1. Hukum keluarga
2. Hukum harta kekayaan
3. Hukum benda
4. Hukum Perikatan
5. Hukum Waris

Hukum Acara Perdata di Indonesia mengenal 2 (dua) macam kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi/kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.

Tujuan utama membahas kekuasaan/kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Ada 2 (dua) macam kewenangan yaitu kewenangan mutlak (absolute competentie) dan kewenangan relatif (relative competentie).

Kewenangan mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan absolut untuk mengadili. Misalnya masalah perceraian bagi pihak-pihak yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kewenangan mengadili tersebut ada pada Pengadilan Agama. Contoh lain mengenai masalah sewa menyewa, utang-piutang, jual-beli, gadai, hipotek adalah berada dalam kewenangan Pengadilan Negeri (“PN”)

PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HUKUM PERDATA

Pada mulanya zaman Romawi secara garis besar terdapat 2 kelompok pembagian hukum,yaitu:

Hukum Publik Adalah hukum yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum,yang diaturnya adalah hubungan antara negara dan masyarakat.
Hukum Privat Adalah kumpulan hukum yang menitikberatkan pada kepentingan individu. Hukum Privat ini biasa disebut Hukum Perdata atau Hukum Sipil.

Pada perkembangannya Hukum Perdata/Privat ada 2 pengertian:

1) Hukum Perdata dalam arti luas

yaitu:

Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS/Burgerlijk Wetboek/BW ditambah dengan hukum yang termuat dalam KUHD/WvK(Wetboek van Koophandel)

2) Hukum Perdata dalam arti sempit,yaitu Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS itu sendiri.

Hukum Perdata di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok:

1. Hukum Perdata Adat:

Berlaku untuk sekelompok adat

2. Hukum Perdata Barat:

Berlaku untuk sekelompok orang Eropa dan Timur Asing

3. Hukum Perdata Nasional:

Berlaku untuk setiap orang,masyarakat yang ada di Indonesia

Berdasarkan realita yang ada,masih secara formal ketentuan Hukum Perdata Adat masih berlaku(misalnya Hukum Waris) disamping Hukum Perdata Barat.

Unifikasi Hukum Perdata:Penseragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di seluruh wilayah negara Indonesia.

Asas Hukum Perdata

KEP. MARI NO. 1037 K/SIP/1973:

Berdasarkan azas umum dalam hukum perdata, dalam hal ada dua peraturan yang mengatur hal yang sama dan memuat ketentuan yang berlainan, maka demi kepastian hukum berlakulah peraturan yang terbaru, kecuali kalau ditentukan lain dengan undang-undang.

KEP MARI NO. 170 K/SIP/1959:

Jual beli yang ditinjau dalam keseluruhan mengandung ketidak beresan, ialah tidak beres mengenai orang-orang yang menjadi pihak di dalam perjajinan dan secara materiil tidak meyakinkan adanya persetujuan kehendak (wilsovereenstemning) yang bebas, haruslah dinyatakan batal.

KEP MARI NO. 698 K/SIP/1969:

Jual beli yang objeknya tidak ada adalah tidak sah (i.c. jual beli mengenai hak erfpacht yang telah gugur).

KEP MARI NO. 539 K/SIP/1973:

Bahwa suatu perjanjian hanya mengikat tentang hal-hal yang diperjanjikan;
Bahwa yang diperjanjikan dalam akte perdamaian No. 162/PDT/1966 itu hanyalah tentang penyakapan tanah tersebut kepada J. Nengah Badera (Penggugat I) apabila Nang Djigeh (tergugat I) tidak kuat lagi untuk mengerjakannya; tidak diperjanjikan bahwa Nang Djigeh dilarang untuk menjual atau memindah-tangankan tanah tersebut maka penjualan sawah itu dari Nang Djigeh kepada tergugat II, tidaklah bertentangan dengan putusan perdamaian Pengadilan Negeri tersebut dan tuntutan penggugat akan pembatalan jual beli itu harus ditolak karena tidak beralasan.

KEP MARI NO. 523 K/SIP/1973:

Dalam perkara ini adanya keputusan pidana yang membebaskan Penggugat untuk kasasi (dibebaskan dari tuduhan penipuan) tidak membebaskannya dari tanggung jawab secara hukum perdata (dalam rangka perjanjian pembelian truck)

KEP MARI NO. 1230 K/SIP/1980:

Pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum.

KEP MARI NO. 1245 K/SIP/1974:

Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian, tidak dapt didasarkan semata-mata atas kata-kata dalam perjanjian tersebut. i.c. berdasarkan sifat dari pada bangunan lantai atas (loods) maka hal ini merupakan suatu "bestending engebruikelijk beding" terhadap pasal X dari perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I (pasal 1347 jo pasal 1339 KUHPerdata)

KEP MARI NO. 80 K/SIP/1975:

Perjanjian yang dibuat karena causa yang tidak diperkenankan (onggeoorloofde oorzaak) addalah tidak sah (i.c. perjanjian balik nama keagenan Pertamina antara Tergugat dan penggugat)

KEP MARI NO. 38 K/SIP/1961:

Terhadap perjanjian yang diadakan antara orang-orang Indonesia asli, sekalipun barang-barang yang diperjanjikan (i.c rumah dan tanah) tunduk pada Hukum Barat, haruslah diperlakukan hukum adat.

KEP MARI NO. 212 K/SIP/1953:

Putusan Pengadilan tidak hanya mempunyai kekuatan terhadap pihak yang kalah, tetapi juga terhadap seseorang yang mendapat hak dari pihak yang kalah itu (rechtverkrijgende).

KEP MARI NO. 145 K/SIP/1967:

Dalam hal telah ada putusan Pengadilan yang menetapkan hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara, maka apabila salah satu pihak meninggal, hak-hak dan kewajiban kewajiban hukum yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan beralih kepada ahli warisnya.

KEP MARI NO. 145 K/SIP/1953:

Pasal 1342 BW hanya dianggap dilanggar, apabila hakim menganggap kata-kata dari surat perjanjian adalah terang benderang dan meskipun demikian, toh menyimpang dari kata-kata tersebut secara penafsiran, sedangkan in casu ternyata Pengadilan Negeri menganggap kata-kata dalam surat perjanjian yang bersangkuta tidaklah terang benderang.


Sumber : http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-perdata/
http://omperi.wikidot.com/asas-hukum-perdata
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
http://www.hukumacaraperdata.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar