Kasus Pelanggaran Profesi Akuntansi
Makalah
Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Profesi
Akuntansi
Disusun Oleh
Nama : Rendra Dwi Permana
NPM : 25210734
Kelas : 4 EB 21
Dosen : Evan Indra Jaya
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Profesi akuntan pada saat ini dituntut
mampu memberikan suatu nilai tambah terhadap entitasnya di tempat dia bernaung.
Profesi akuntan bertugas untuk menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat
bagi banyak pengguna dalam pengambilan keputusan. Informasi yang dihasilkan
akan menjadi landasan utama setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pihak
berkepentingan, kehandalan dan kompetensitas menjadi suatu keharusan yang harus
dimiliki seorang akuntan. Profesi akuntan dianggap sebagai suatu urat nadi
perekonomian global.
Profesi
akuntansi juga harus memiliki etika profesi dalam melaksanakan tugasnya sebagai profesional yang senantiatasa menggunakan
pertimbangan moral dan profesional dalam setiap kegiatan yang dilakukannya.
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi. Oleh karena
itu, kasus pelanggaran profesi akuntansi apa saja yang terjadi selama ini dan
cara untuk mengatasi pelanggaran profesi tersebut. Demi memperbaiki profesi
akuntansi yang menyimpang selama ini terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
Kasus
Pelanggaran Profesi Akuntansi dan Solusinya
Malinda
Palsukan Tanda Tangan Nasabah
Terdakwa kasus pembobolan dana Citibank, Malinda Dee binti
Siswowiratmo (49), diketahui memindahkan dana beberapa nasabahnya dengan cara
memalsukan tanda tangan mereka di formulir transfer.
Hal ini terungkap dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa
Penuntut Umum di sidang perdananya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Selasa (8/11/2011). "Sebagian tanda tangan yang ada di blangko formulir
transfer tersebut adalah tandatangan nasabah," ujar Jaksa Penuntut Umum,
Tatang sutar
Malinda antara lain memalsukan tanda tangan Rohli bin
Pateni. Pemalsuan tanda tangan dilakukan sebanyak enam kali dalam formulir
transfer Citibank bernomor AM 93712 dengan nilai transaksi transfer sebesar
150.000 dollar AS pada 31 Agustus 2010. Pemalsuan juga dilakukan pada formulir
bernomor AN 106244 yang dikirim ke PT Eksklusif Jaya Perkasa senilai Rp 99
juta. Dalam transaksi ini, Malinda menulis kolom pesan, "Pembayaran Bapak
Rohli untuk interior".
Pemalsuan lainnya pada formulir bernomor AN 86515 pada 23
Desember 2010 dengan nama penerima PT Abadi Agung Utama. "Penerima Bank
Artha Graha sebesar Rp 50 juta dan kolom pesan ditulis DP untuk pembelian unit
3 lantai 33 combine unit," baca jaksa.
Masih
dengan nama dan tanda tangan palsu Rohli, Malinda mengirimkan uang senilai Rp
250 juta dengan formulir AN 86514 ke PT Samudera Asia Nasional pada 27 Desember
2010 dan AN 61489 dengan nilai uang yang sama pada 26 Januari 2011. Demikian
pula dengan pemalsuan pada formulir AN 134280 dalam pengiriman uang kepada
seseorang bernama Rocky Deany C Umbas sebanyak Rp 50 juta pada 28 Januari 2011
untuk membayar pemasangan CCTV milik Rohli.
Adapun tanda tangan palsu atas nama korban N Susetyo Sutadji
dilakukan lima kali, yakni pada formulir Citibank bernomor No AJ 79016, AM
123339, AM 123330, AM 123340, dan AN 110601. Secara berurutan, Malinda
mengirimkan dana sebesar Rp 2 miliar kepada PT Sarwahita Global Management, Rp
361 juta ke PT Yafriro International, Rp 700 juta ke seseorang bernama Leonard
Tambunan. Dua transaksi lainnya senilai Rp 500 juta dan 150 juta dikirim ke
seseorang bernamVigor AW Yoshuara.
"Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Rohli bin
Pateni dan N Susetyo Sutadji serta saksi Surjati T Budiman serta sesuai dengan
Berita Acara Pemeriksaan laboratoris Kriminalistik Bareskrim Polri," jelas
Jaksa. Pengiriman dana dan pemalsuan tanda tangan ini sama sekali tak disadari
oleh kedua nasabah tersebut.
Solusi:
contoh
kasus yang saya ambil yaitu tentang pemalsuan tanda tangan nasabah yang
dilakukan oleh melinda dimana Dalam kasus ini malinda melakukan banyak
pemalsuan tanda tangan yang tidak diketahui oleh nasabah tersebut. Dalam kasus
ini ada salah satu prinsip-prinsip yang telah dilanggar yaitu prinsip
Tanggung jawab profesi, karena ia tidak melakukan pertimbangan professional
dalam semua kegiatan yang dia lakukan,disini melinda juga melanggar prinsip
Integritas, karena tidak memelihara dan meningkatkan kepercayaan nasabah.
Kredit
Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat
Selasa, 18 Mei 2010 | 21:37 WIB
Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan
perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar
dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit
macet.
Hal
ini terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi
tersebut pada kredit macet untuk pengembangan usaha di bidang otomotif
tersebut.
Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai
BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya
diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada
dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus
ini. Hasil pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa
Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor
dalam mengajukan pinjaman ke BRI.
Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat
dalam laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam
proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya. “Ada empat kegiatan laporan
keuangan milik Raden Motor yang tidak masuk dalam laporan keuangan yang
diajukan ke BRI, sehingga menjadi temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam
mengungkap kasus kredit macet tersebut,” tegas Fitri.
Keterangan
dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan
dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik
dalam kasus tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan
ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam laporan keuangan yang diberikan
tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak
dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh akuntan publik.
Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak
penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan
adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet
senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya.
Sementara itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus
ini belum maumemberikan komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir
tersangka Effendi Syam dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik
tersebut.
Kasus kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana
korupsi itu terungkap setelah kejaksaan mendapatkan laporan adanya
penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan
Raden Motor. Dalam kasus ini pihak Kejati Jambi baru menetapkan dua orang
tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor yang mengajukan
pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari BRI yang saat itu menjabat sebagai
pejabat penilai pengajuan kredit.
Solusi:
Dalam kasus ini, seorang akuntan publik (Biasa Sitepu) sudah
melanggar prinsip kode etik yang ditetapkan oleh KAP ( Kantor Akuntan Publik ).
Biasa Sitepu telah melanggar beberapa prinsip kode etik diantaranya yaitu :
1)
Prinsip tanggung jawab : Dalam
melaksanakan tugasnya dia (Biasa Sitepu) tidak mempertimbangkan moral dan
profesionalismenya sebagai seorang akuntan sehingga dapat menimbulkan berbagai
kecurangan dan membuat ketidakpercayaan terhadap masyarakat.
2)
Prinsip integritas : Awalnya dia
tidak mengakui kecurangan yang dia lakukan hingga akhirnya diperiksa dan
dikonfrontir keterangannya dengan para saksi.
3)
Prinsip obyektivitas : Dia telah
bersikap tidak jujur, mudah dipengaruhi oleh pihak lain.
4)
Prinsip perilaku profesional : Dia
tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan publik telah
melanggar etika profesi.
5)
Prinsip standar teknis : Dia tidak
mengikuti undang-undang yang berlaku sehingga tidak menunjukkan sikap
profesionalnya sesuai standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi serta kejujuran
dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi amanah reformasi
ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik
negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan
yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar
Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia
harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT
Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga.
Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai
pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan
dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam
pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini.
Di lain pihak, PT Kereta Api
Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya terjadi karena
perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat
pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu
bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia
seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada
pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih tetap dapat
dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia sehingga keuntungan
sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut. Diduga, manipulasi
laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Solusi:
PT KAI sebagai suatu lembaga
memang memiliki kewenangan untuk menyusun laporan keuangannya dan memilih
auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap laporan keuangan
tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan dimensi organisasional
penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada hal mendasar yang harus
diperhatikannya sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus benar-benar
memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan kaidah-kaidah
yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP. Selain itu,
auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara benar dengan komite audit
yang ada pada PT Kereta Api Indonesia guna membangun kesepahaman
(understanding) diantara seluruh unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas
kelembagaan diharapkan tercipta sehingga mempermudah penerapan sistem
pengendalian manajemen di dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang
perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai
salah satu pengampu kepentingan.
Kasus Mulyana W Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun
2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK
yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic
pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara,
amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan,
badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada
sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa
laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan,
ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu
tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana
ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor
BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK
bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama
dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro
dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni
Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat
bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut
telah melanggar kode etik akuntan.
Solusi:
Dalam
konteks kasus Mulyana W Kusuma, dapat dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua
belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU,
sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada
pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan
sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma, walaupun dengan
tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh
KPU. Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab,
yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya.
Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan
pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah
terjadi korupsi.
Dari
sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan.
Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan
menjalankan profesinya. Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang dilakukan adalah bahwa
dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara
cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk
ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik
dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap
hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi.
Tampak
sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya,
sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam
cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah
terjadi, yaitu dengan jebakan.
Dalam
kasus ini kembali lagi kepada tanggung jawab moral seorang auditor di seluruh
Indonesia, termasuk dari BPK harus sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa
betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang
dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya
secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk
memberantas korupsi di negeri ini.
BAB III
Penutup
Rangkuman
Seorang
akuntan harus memiliki prinsi-prinsip etika profesi akuntan dan Kode etik profesi yang merupakan pedoman mutu moral profesi
si dalam masyarakat yang di atur sesuai dengan profesi masing-masing. Hanya
kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita di terima oleh profesi itu
sendiri serta menjadi tumpuan harapan untuk di laksanakan dengan tekun dan
konsekuen. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas
yaitu instansi pemerintah karena tidak akan di jiwai oleh cita-cita dan nilai
hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar